Prilaku kekerasan di sekolah di
jalanan, begitu kompleks penyebabnya. Namun cara pemecahannya
sederhana; cukup mendidik anak di rumah untuk menjauhi kekerasan. Baik
dari televisi maupun dari prilaku tegas orangtua namun santun, lembut,
dan mendidik.
Menggunting Budaya Kekerasan
Setiap
zaman menghasilkan budaya kekerasan. Manusia di abad modern lebih
sedikit melakukan kekerasan, namun kualitas kekerasannya tidak jauh
berbeda.
Batu itu tiba-tiba melayang, dan tarrr! Kaca taksi yang
kami tumpangi retak, tepat, saat membelok di Jalan Diponegoro di
pertigaan gedung bioskop Megaria, Jakarta Pusat. Tawuran antara kampus
di wilayah itu seperti penyakit menahun. Seperti membudaya dan
diturunkan dari generasi ke generasi.
Di bawah pengawasan
kepolisian – yang tak bisa bertindak apa-apa – kecuali melokalisir
daerah “pertempuran” kekerasan antar pelajar itu tak hanya saling
timpuk. Samurai berkelebat-kelebat di antara derap lari saling kejar.
Rantai yang ujungnya dipasang gir, berputar-putar menciptakan angin
maut, di antara wajah-wajah penuh marah.
Sosiolog Lucia Ratih
berpendapat dalam masyarakat yang sudah sangat akrab dengan kekerasan,
kekerasan ditemui hampir setiap waktu sehingga insiden kekerasan telah
menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. “Mereka menjadi
terbiasa dan tidak punya rasa takut lagi dengan maut yang mengancam
setiap saat, masyarakat yang telah terbiasa dengan kekerasan menghidupi
kekerasan itu,” ujar Lucia.
Malahan, menurut Lucia, semakin
terampil dari waktu ke waktu untuk menciptakan moda kekerasan baru.
Berangsur-angsur, kekerasan justru mengalami proses pembudayaan dan
budaya kekerasan menjadi semakin mapan. Lahirnya kekerasan sering kali
dikaitkan dengan personalitas yang otoriter. Pribadi yang memiliki
karakter otoriter biasanya cenderung melakukan kekerasan fisik ataupun
psikis kepada orang lain supaya kehendaknya terpenuhi.
Lantas di
mana penyemaian budaya kekerasan? Keluarga dan orang-orang dekat
semenjak kecil menjadi referensi sentral pembentukan karakter pribadi
seseorang. Jika orangtua atau yang bertindak sebagai orangtua cenderung
otoriter, atmosfer yang terbentuk dalam keluarga—tempat seorang anak
pertama kali belajar hidup—adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan
ini menjadi kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat
dikatakan merupakan agen utama yang mencipta sosok individu otoriter
yang cenderung melakukan kekerasan.
Selanjutnya, pribadi-pribadi
otoriter akan masuk dalam kehidupan sosial. Biasanya mereka dikenal
dominan, selalu berusaha memengaruhi atau memaksa orang lain untuk
mengikuti kehendaknya. Kebanyakan korbannya adalah orang-orang yang
kurang memiliki kepribadian yang kuat dan atau yang sedang dalam masa
pencarian jati diri. Mereka lalu membentuk kelompok di mana
otoritarianisme telah mendarah daging dan menjadi budaya kelompok.
Praktik-praktik
otoritarian tidak hanya dilakukan oleh pemimpin, tetapi juga secara
berjenjang hingga ke anggota-anggota yang berada dalam struktur
terbawah. Setiap anggota ini kemudian menularkan budaya otoritariannya
itu kepada keluarga dan orang-orang di dekatnya.
Selanjutnya,
kelompok-kelompok otoriter tersebut bekerja secara terorganisasi dalam
masyarakat bagaikan virus yang menyebar. Karena sifat dasar ekspansif
yang melekat dalam dirinya, kelompok-kelompok ini melakukan berbagai
cara dalam rangka semakin memapankan keberadaannya.
“Berbagai upaya
dilakukan, di antaranya menarik perhatian publik dengan melakukan
tindakan-tindakan kekerasan dan manuver-manuver politik yang diperlukan
guna menguasai wacana publik,” kata Lucia.
Menurut Lucia,
kelompok-kelompok ini semakin tumbuh subur jika, pertama, keberadaannya
didukung oleh kekuatan-kekuatan politik besar, termasuk mereka yang
menyokong pembiayaan kelompok semacam itu. Kedua, tidak berfungsinya
entitas utama pengatur tatanan sosial dan pendukung moralitas publik
anti-kekerasan yang dalam masyarakat modern adalah aparatus negara.
Dan, menjadi semakin parah, dalam kasus ketika negara justru
menciptakan, menyuburkan, dan atau beraliansi dengan kelompok-kelompok
ini untuk kepentingannya.
Ketiga, tidak terdapatnya
kontra-tindakan atau kontra-aksi untuk mematikan virus kekerasan yang
disebarkan. Artinya, tidak ada gerakan sosial anti-kekerasan yang cukup
mampu untuk membendung penyebaran virus kekerasan di ranah sosial.
Jika
situasi penyebaran virus kekerasan ini berlangsung terus-menerus, yang
terjadi adalah frustrasi dan penyakit sosial. Ketika masyarakat
anti-kekerasan tidak tahu lagi harus berbuat apa terhadap kekerasan,
ketidakadilan, dan kesemena-menaan yang diterimanya setiap hari, bukan
mustahil akan meledak konflik-konflik besar yang sarat kekerasan.
Kekerasan
akhirnya dibalas dengan kekerasan karena filosofi anti-kekerasan
dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan masalah yang berlarut-larut.
Jika kondisi ini terus berlangsung, semakin mapanlah budaya kekerasan
itu karena kekerasan telah menjadi cara legitimitas yang dipakai oleh
masyarakat yang tadinya anti-kekerasan.
Budaya Kekerasan di Indonesia
Kalau
menyebut bangsa Indonesia bangsa yang ramah dan anti kekerasan, tunggu
dulu. Bangsa ini lekat dengan budaya kekerasan. Malah hampir menyamai
negara-negara yang sedang dalam situasi perang sipil.
Riset yang
dilakukan Komnas Perlindungan Anak pada 2012 mencatat kenaikan drastis
kekerasan yang menimpa anak hingga 98 persen. Sementara angka tawuran
pelajar meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2011. Lembaga
PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) menyatakan sedikitnya 20 perempuan
Indonesia mengalami kekerasan seksual setiap hari.
Human Rights
Watch (HRW) menyebut, kekerasan sektarian yang diarahkan kepada
kelompok-kelompok minoritas di Indonesia saat ini semakin mematikan dan
semakin sering terjadi. Hal yang harus dilakukan untuk menghindari
semakin mapannya budaya kekerasan adalah dengan memotong budaya
kekerasan itu.
Ini berarti, menghentikan, menangani, dan
menyelesaikan setiap aksi kekerasan yang muncul. Ibarat memberikan obat
yang mematikan kepada virus, budaya kekerasan harus dimatikan. Tidak
ada kompromi atau negosiasi pada budaya kekerasan karena kekerasan
bukanlah hal yang bisa dikompromikan jika bangsa ini tidak ingin
kembali hidup di zaman barbarian.
Sementara dunia anak-anak juga
tak aman dari kekerasan. Kekerasan dan intimidasi terhadap anak yang
terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menunjukkan
kondisi anak kian memprihatinkan. Padahal, anak-anak inilah yang
menentukan nasib bangsa ini pada masa depan.
“Saat ini anak
Indonesia tidak lagi bisa memperoleh rasa aman dan nyaman di mana pun
ia berada karena haknya terabaikan dan mereka tidak terlindungi,” kata
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA) Seto
Mulyadi. Menurutnya, kekerasan terhadap anak sudah di luar akal
sehat, seperti pembunuhan anak oleh ibunya. “Selain fisik, anak juga
mengalami kekerasan psikis dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk
bersuara dan berkarya,” ujarnya.
Berdasarkan catatan terakhir
Komnas PA, kasus kekerasan terhadap anak pada 2009 meningkat menjadi
1.998 kasus yang diadukan kepada Komnas PA dari 1.736 kasus pada 2008.
Sekitar 62,7 persen dari 1.998 kasus itu merupakan kekerasan seksual
(sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan incest), sementara sisanya berupa
kekerasan fisik dan psikis.
Jika fenomena kekerasan anak terus
terjadi, Seto Mulyadi khawatir, anak-anak akan tumbuh dengan rasa
dendam dan berperilaku kekerasan. “Mereka akan sama-sama memaksakan
kehendak. Tidak ada budaya dialog. Jika begini terus, kita tinggal
tunggu runtuhnya bangsa ini. Saya khawatir Indonesia bisa bubar,”
ujarnya.
Sebelum itu terjadi, menurut Seto, cara pandang dan
pendekatan dalam menangani anak harus diubah. “Kita terjebak pada
paradigma lama. Mendidik anak dengan kekerasan agar anak disiplin
dianggap hal yang wajar. Ini yang keliru dan harus diubah,” ujarnya.
Untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak, kata Arist, perlu ada
gerakan nasional melawan kekerasan dan kekejaman terhadap anak yang
dimulai dari tingkat RT/RW.
Struktur masyarakat di tingkat itu
bisa menyelamatkan anak dengan melaporkan tindak kekerasan anak di
dalam keluarga kepada pihak yang berwajib. “Sayangnya, kesadaran untuk
itu masih minim. Persoalan yang terjadi di dalam keluarga dianggap
sebagai urusan internal keluarga,” Ketua Umum Komisi Nasional PA
Arist Merdeka Sirait . “Kalau di sekolah, seharusnya komite sekolahlah
yang bisa melindungi anak,” ujarnya.
Jika berbicara soal komite
sekolah, Jumono dari Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, menyesalkan,
banyak komite sekolah justru tak melindungi dan memperjuangkan hak anak
karena menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah. Sekolah yang
seharusnya menjadi zona aman dan nyaman bagi anak berbalik menjadi zona
penuh ancaman dari guru dan kepala sekolah./**
(Sumber: www.nuansaonline.net)
Jika Anda menyukai Artikel atau Berita di website LDII Banyumas, Silahkan
Klik Disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel atau berita terbaru yang terbit di Website DPD LDII Banyumas
oke
ReplyDeletesip
Delete