Institusi pendidikan digadang-gadang menghasilkan
generasi penerus bangsa dan negara. Namun antara prestasi dan kekerasan
berjalan bersama.
Amerika Serikat boleh menghadapi
teror yang mengerikan. Bukan dari jaringan Alqaida ataupun ancaman
Iran, Hizbullah, atawa jaringan teror lainnya. Tapi dari dalam negeri.
Di April 2007, seorang mahasiswa di Seung Hui Cho menembaki 32 orang di
Universitas Virginia Tech, yang menewaskan 15 orang dan melukai
sisianya.
Itu belum cukup. 30 orang tewas, di antaranya 20
anak-anak SD Sandy Hook, Conecticut, akibat aksi Ryan Lanza. Yang
berakibat pemerintah AS membentuk Satuan Tugas Pengurangan Senjata Api,
yang merekomendasikan pedagang senjata harus mengetahui rekam jejak
pembeli, tanpa kecuali. Di Indonesia kekerasan di sekolah bekerja dalam
bentuk lain, yang tak kalah mengerikan. Perpeloncoan di SMA, tawuran
antar pelajar, hingga tawuran antar mahasiswa di berbagai perguruan
tinggi.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia menemukan 87,6 persen
siswa di sekolah pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam
berbagai bentuk. “Dari angka 87,6 persen tersebut, sebanyak 29,9
persen kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1 persen dilakukan oleh teman
sekelas, dan 28,0 persen dilakukan oleh teman lain kelas,” ujar
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Badriyah Fayumi.
Ia
menjelaskan bahwa data tersebut diambil dari 1.026 responden yang
merupakan para siswa sekolah. Menurutnya, angka tersebut sudah
merepresentasikan kondisi lingkungan sekolah secara umum.
Maka
dari itu, KPAI merekomendasikan kebijakan nasional Sekolah Ramah Anak
sebagai bentuk komitmen mewujudkan generasi yang damai dan jauh dari
kekerasan.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema membenarkan temuan
KPAI itu. Untuk meredam kekerasan di dalam sekolah maupun antar
sekolah, harus ada perubahan dalam pengelolaan sekolah. “Tawuran
menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran
negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam
menyikapi persoalan serius ini,” ujar Doni.
Pendidikan karakter
dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan
kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan
yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur
pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah
tidak bisa ditawar lagi!
Tradisi tawuran di SMA yang sudah
terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung
jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya.
Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam
sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar
batas pagar sekolah.
Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen, mengatakan, setidaknya
ada lima hal yang memicu kekerasan di sekolah. Pertama, kondisi
lingkungan fisik pendidikan tak mendukung hadirnya rasa aman dan
nyaman. Arsitektur sekolah kebanyakan dibangun memanjang dan terbuka
seperti barak darurat tanpa memperhitungkan sisi-sisi edukatif. Situasi
serupa itu, selain sulit memungkinkan kontrol, memudahkan
pihak/pengaruh luar untuk masuk, juga mengurangi perasan terayomi.
Kedua,
pembelajaran di sekolah kurang mengembangkan kemampuan memilih
sehingga murid dan lulusannya sering kesukaran memutuskan pilihan
secara benar dan tepat. Memilih adalah proses mental yang mendahului
setiap tindakan sadar dan menuntut sejumlah data pengetahuan,
pengalaman, dan kemampuan menalar.
Meskipun filosofi pendidikan
kita mencerdaskan kehidupan bangsa, strategi pemelajarannya tak
mementingkan pengembangan kemampuan berpikir. Kurikulum dan metodologi
pendidikan nasional dirancang lebih mengisi pikiran dengan seabrek
fakta pengetahuan; tak memberi cukup ruang bagi tumbuhnya kemampuan
nalar sehingga pemelajaran di sekolah tak mencerahkan.
Ketiga,
relasi dalam pemelajaran di sekolah kita sangat tidak demokratis.
Bertahun-tahun murid jadi obyek dominasi guru yang memposisikan diri
sebagai sumber utama belajar dan kebenaran. Kebanyakan guru mengajar
secara otoriter tanpa memberi kesempatan bagi murid mengekspresikan dan
memekarkan potensi dirinya. Anak tidak mendapat pengakuan, kenikmatan,
dan kepuasan dalam proses pembelajaran yang kemudian berakumulasi
mencari penyalurannya sendiri.
Keempat, iklim pembelajaran yang
menegangkan, terlebih dengan adanya ujian nasional, bercampur dengan
ketakpastian masa depan dalam situasi bangsa (juga keluarga) yang
karut-marut seperti sekarang, menyimpan banyak potensi konflik yang
laten. Problem ketakpastian hukum, kesenjangan ekonomi, ketaktegasan
pemimpin serta ketakpuasan terhadap kelompok dominan setiap saat mudah
memantik amuk yang mengerikan.
Kelima, media massa yang silih
berganti dan terus-menerus mendedah segala macam kekerasan,
irasionalitas, dan percabulan jadi sumber inspirasi, imitasi, dan
referensi bertindak ketika anak menghadapi masalah.
Memutus Siklus Tawuran
Dalam pengamatan pakar pendidikan Doni Koesoema, tawuran di sekolah
menjadi siklus menahun, karena para pemimpin sekolah kurang memiliki
rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa
pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah,
maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan
tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Pendekatan
ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah
yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan
karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang
ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama
antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai
dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda
atau barang yang bisa dirusak setiap saat.
Kultur sekolah lemah
Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan
terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan
nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan
menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu
dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau
pulang sekolah.
Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap
individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai,
dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan
pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke
seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud
yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem
katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan
terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan
nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas,
karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.
Kultur
sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan
terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan
nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah
seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini
terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.
Menghargai
individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai
dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik
keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan
akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam
meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas
akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri
palsu di luar, termasuk tawuran.
Ketidakhadiran negara
Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir,
bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa
bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat
dibenarkan.
Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan
dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing
di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri
dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang
efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai
rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta
komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat
pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan.
Negara
seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati
ketertiban dan hukum. Untuk mengatasi persoalan tawuran dan
menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.
Pertama,
kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang
dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif.
Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan
karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain.
Kepolisian
harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib
hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat
tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif- edukatif melalui
kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi
persoalan pada akarnya.
Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah
juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik
itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya
selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka
terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu hati-hati
mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun
bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai
usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.
Peran komunitas sekolah
Ketiga, menurut Doni Koesoema, pendidikan karakter akan efektif kalau
seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari
penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan
nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti
tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan
pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.
Perilaku
kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak
dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga.
Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu berharga dan
bernilai dalam dirinya sendiri.
Siapa pun tidak pernah boleh
memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan
alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan
terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal,
penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan
bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh./**
Menanamkan Anti Kekerasan dari Rumah
Keluarga seharusnya berperan penting untuk membentengi anak agar tidak
terjerumus ke dalam tindakan kriminalitas termasuk tawuran. Sayangnya,
belum semua keluarga menyadari peran penting ini.
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Sari Gumelar
mengatakan hal ini menanggapi kekerasan antarpelajar di Jabodetabek
yang kian marak dan menakutkan. Sebelumnya, Komisi Nasional
Perlindungan Anak mencatat lonjakan angka tawuran dari 128 kasus pada
2010 menjadi 339 kasus di 2011. Sejumlah 82 orang meninggal akibat
tawuran. ”Karena kesibukan yang padat dan kemajuan teknologi, orang
sering kali lupa dengan orang lain, termasuk anak-anak mereka. Anak
selalu menjadi korban,” ujar Linda, Rabu (21/12).
Kemajuan
teknologi yang dimaksud Linda adalah ketika orang menjadi sibuk dengan
gadget mereka. Keasyikan berinteraksi di dunia maya justru mengurangi
kualitas komunikasi orang-orang yang hadir secara fisik. Selain itu,
tayangan kekerasan di televisi juga memengaruhi anak. Belum lagi bila
anak juga terbiasa melihat orangtua mereka bertengkar dan terjadi
kekerasan fisik.
”Kalau anak terus-menerus menyaksikan kekerasan,
mereka beranggapan bahwa kekerasan ini merupakan hal biasa. Akhirnya,
anak meniru juga melakukan kekerasan, termasuk tawuran,” papar Linda.
Di
lingkungan sekolah, Linda berpendapat, kepala sekolah dan guru juga
harus ikut memantau peserta didik mereka agar tidak terlibat tawuran.
Pengawasan bersama ini, menurut Linda, dibutuhkan karena anak dan
remaja rawan terhasut provokasi dari pihak luar. ”Sedikit saja
diprovokasi, mereka bisa saling serbu. Ini yang patut dicegah bersama,”
kata Linda.
Psikolog anak, Seto Mulyadi, menyatakan, adalah
tugas pemerintah, masyarakat, sekolah, aparat, atau semua pihak untuk
bersatu dan bersinergi menekan kekerasan. Sinergi diperlukan karena
kekerasan sudah membudaya dan terjadi di keluarga, sekolah, lembaga
pemerintah, bahkan di lingkungan aparat penegak hukum.
Menjauhkan Anak dari Televisi
Psikolog Nana Maznah Prasetyo, yang juga anggota Departemen
Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga DPP LDII berpendapat,
hampir semua stasiun-stasiun televisi, banyak menayangkan program
acara (terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan berbau
kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme).
“Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa
memperhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah
karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh
anak-anak,” ujar Nana Prasetyo. Menurutnya sangat berbahaya kalau
anak-anak sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur kekerasan.
Demikian
pula tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Persoalan gaya
hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang
menampilkan kehidupan yang serba glamour. Tanpa bekerja orang bisa
hidup mewah. Anak-anak sekolahan dengan dandanan yang “aneh-aneh” tidak
mencerminkan sebagai seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat.
Sikap terhadap guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak
mendidik. Dikawatirkan anak-anak sekolahan meniru gaya, sikap, serta apa
yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah kemewahan itu.
Nana
Prasetyo meyakini televisi hanya memberikan porsi sebesar 0,07 persen
untuk bidang pendidikan sehingga orang tua harus mampu bersikap
proaktif mengambil alih peran sebagai pendidik di rumah. Media
elektronik berperan membuat anak didik tidak konsentrasi belajar di
kelas, “Anak-anak yang terlalu sering menyaksikan televisi menjadi sulit
bergaul dengan lingkungannya dan mempengaruhi kecerdasannya,” papar
Nana Prasetyo.
“Mematikan” Televisi, Mematikan Kekerasan
Lantas, siapa yang berperan penting untuk menjadi filter penyaring
acara TV dirumah? “Tentunya orang tua dan komitmen seluruh penghuni
rumah,” ujar Nana Prasetyo. Namun, menurutnya, sebagian orang tua masih
membiarkan anaknya nonton TV selama berjam-jam, karena dengan demikian
anak tidak mengganggu kegiatan mereka. Walaupun banyak orang tua
mengetahui bahaya dari kebanyakan nonton TV ini, mereka lama-kelamaan
menjadi terbiasa dan mulailah kebiasaan buruk itu tercipta di dalam
rumah.
Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua menjadi tidak
sadar akan dampak dari kebebasan penggunaan media TV. Anak-anak tidak
diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dan perlahan TV berubah
fungsi sebagai “baby sitter” untuk anak.
“Sudah sepatutnyalah
orang tua dapat mengatur jam menonton TV bagi anak. Cara lain adalah
dengan menyeleksi tayangan mana saja yang layak dikonsumsi anak,”
ujarnya. Jika orang tua memutuskan untuk mengurangi menonton TV,
persiapkan kegiatan lain yang menyenangkan untuk dilakukan bersama
anak-anak.
Nana Prasetyo menyarankan orang tua perlu mendampingi
anak-anaknya saat menonton televisi. Memberikan berbagai pemahaman
kepada anak-anak tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan. Selain
sarana membangun komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak
negatif televisi bagi anak.
Bila sejak di keluarga dibiasakan
tanpa kekerasan, dan mengurangi menonton adegan kekerasan. Tentunya
kekerasan di luar rumah atau di sekolah, bisa dihilangkan./**
(sumber : http://www.nuansaonline.net/)
|
Post a Comment